Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

URGENSI KEBEBASAN PERS UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA

Berbicara mengenai Kebebasan Pers, saya teringat materi pelajaran pada waktu SMA dulu tentang Peranan Pers dalam Kehidupan Masyarakat. Guru saya pada saat itu dengan semangatnya menjelaskan bahwa keberadaan pers sangat penting dalam dunia pendidikan, contoh kecilnya dalam meningkatkan budaya literasi kepada generasi muda, pers memiliki fungsi untuk memberikan informasi kepada pelajar sehingga termotivasi untuk menyukai kegiatan membaca.

Mengenai fungsi pers, dalam UU No, 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa pers memiliki 4 fungsi yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Selain itu, kebebasan pers juga dapat memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan pers masyarakat dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Karena itu, pers dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.

Namun akhir-akhir ini kebebasan pers di negara kita masih dipertanyakan. Menurut data Kekerasan Terhadap Jurnalis yang dilansir dari aji.or.id pada Januari-Juli 2019 sudah terdapat 20 data laporan kekerasan terhadap jurnalis.

Berdasarkan infografis di atas, kekerasan fisik menjadi bentuk kekerasan terhadap jurnalis menempati posisi pertama dengan 7 kasus, yang kedua yaitu kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk perusakan alat dengan 6 kasus, yang ketiga kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk ancaman kekerasan dengan 3 kasus, yang keempat yaitu pemidanaan dengan 3 kasus dan pengusiran terhadap jurnalis dengan 1 kasus.

Sementara itu sejak tahun 2006 sampai 2019 sudah 730 kasus kekerasan terhadap jurnalis, yang mengindikasikan bahwa kebebasan pers di Indonesia masih rendah.
Mengenai tingkat kebebasan pers di dunia, menurut Reporters Without Borders (RSF) tahun 2018 yang lalu Indonesia menempati posisi 124 yang artinya tidak mengalami perubahan dengan tahun lalu. Faktor penting yang patut diduga sebagai penyebab stagnannya peringkat Indonesia adalah karena iklim hukum, politik dan ekonomi yang kurang mendukung bagi kebebasan pers. Iklim hukum antara lain karena masih adanya sejumlah regulasi yang mengancam kemerdekaan pers seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Salah satu faktor penting dalam iklim politik yang mempengaruhi situasi kemerdekaan pers Indonesia adalah masih tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis. Inilah hasil pendataan yang dilakukan Bidang Advokasi AJI Indonesia soal kasus kekerasan terhadap jurnalis pada Mei 2017 hingga Mei 2018. AJI mencatat, baik dari laporan AJI Kota dan pemberitaan media massa,terdapat 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama Mei 2017 hingga awal Mei 2018.Kasus ini terjadi di 56 daerah kota/kabupaten di 25 provinsi.

Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di periode yang sama, yakni 72 kasus kekerasan. Kasus kekerasan fisik masih mendominasi statistik kekerasan terhadap jurnalis, yakni sebanyak 24 kasus. Kasus kekerasan kedua terbanyak adalah pengusiran. Pengusiran dilakukan baik oleh aparatur negara ataupun anggota security atau satpam.

Dalam beberapa kasus, wartawan yang hendak mengkonfirmasi berita sensitif, utamanya di luar Jakarta, sering kali harus berhadapan dengan ajudan, polisi, ataupun satpam yang sudah bersiap sedia menghadang atau bahkan akhirnya merampas alat kerja wartawan. Di beberapa kasus, seorang ajudan, misalnya, tak hanya mengusir tapi juga menghardik dengan kata-kata tidak sopan. Hal ini memperlihatkan masih sangat diperlukannya sosialisasi hak-hak jurnalis kepada kalangan

Pada periode ini, pelaku kekerasan terbanyak, 24 kasus, masih didominasi polisi. Disusul oleh pejabat pemerintah atau eksekutif dengan 16 kasus. Sudah bertahun-tahun polisi menjadi pelaku terbanyak kekerasan terhadap jurnalis, khususnya di luar Jakarta.

Salah satu kasus yang menjadi sorotan termasuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang anggota Polisi di Timika, Papua, kepada wartawan Okezone; yang berujung pada pengancaman.

Dalam beberapa kasus, pimpinan polisi setempat meminta maaf kepada jurnalis. Namun dalam lebih banyak kasus lain, pelaku belum mendapatkan hukuman yang sepatutnya.

Kasus pengusiran lain yang juga cukup menjadi sorotan adalah kasus pengusiran wartawan BBC dari Papua. Kasus ini terjadi karena laporan langsung melalui Twitter yang dilakukan wartawan BBC saat meliput penanganan gizi buruk di Agats, Papua. Cuitan berdasarkan pandangan mata itu dianggap “menyakiti hati” aparat. Sebab yang lain adalah wawancara BBC dengan pemuka agama setempat tentang kondisi anak-anak gizi buruk di daerah ini. Ini menunjukkan tentara belum memahami kritik yang disampaikan melalui berita maupun sosial media, dan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk membatasi gerak liputan jurnalis.

Kasus lain yang patut mendapat perhatian adalah mobilisasi massa dan intimidasi terhadap redaksi yang dilakukan oleh kelompok massa atau ormas. Pada periode ini, setidaknya dua redaksi mengalami tekanan dari organisasi massa intoleran, yaitu kasus kartun Majalah Tempo dan cover Harian Radar Sukabumi. Kasus serupa pernah terjadi pada media lain seperti Kompas TV dan The Jakarta Post.

Dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur prosedur penyelesaian sengketa pemberitaan, sengketa dapat diselesaikan melalui permintaan hak jawab atau klarifikasi atau melaporkan kepada Dewan Pers.

Dewan Pers yang akan menilai dan memberikan rekomendasi terkait laporan itu. Pada dua kasus tersebut di atas, hal tersebut tidak terjadi. Dengan aksi massa, media dipaksa meminta maaf untuk karya jurnalistik yang telah terpublikasi. Kasus Kekerasan yang Tak Kunjung Selesai

Selain peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis, masih terdapat sejumlah kasus dari periode sebelumnya yang telah dilaporkan ke aparat penegak hukum, tapi hingga saat ini tak kunjung jelas ujungnya. Kasus itu di antaranya:

Kasus Kekerasan TNI AU (Medan)
Kasus kekerasan ini terjadi pada 2016. Sebanyak tujuh jurnalis menjadi korban, satu di antaranya perempuan mengalami kekerasaan ganda, saat melakukan peliputan konflik TNI AU dengan warga di Medan. Hingga saat ini baru dua pelaku yang divonis di Pengadilan Militer Medan. Selebihnya gelap.

Kasus Pengeroyokan PNS (Madura)
Sejak kasus ini terjadi pada 2016, polisi baru menetapkan satu tersangka dari sekitar sepuluh pegawai Dinas PU, Binamarga dan Pengairan Bangkalan yang mengeroyok jurnalis Radar Madura, Ghinan. Penyelesaian kasus ini berjalan lambat

Selain dua kasus di atas, praktik impunitas masih terjadi pada pelaku pembunuhan delapan jurnalis. Kondisi ini menyebabkan ranking Indonesia dalam Press Freedom Index yang disusun Reporters Without Borders (RSF), saat ini masih berada di posisi 124 dari 180 negara.

Perihal kebebasan pers saya juga teringat dengan sebuah kasus pembunuhan yang terjadi 10 tahun silam yaitu kasus pembunuhan Wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa yang bulan Januari lalu pernah kembali menjadi sorotan publik tak terkecuali bagi AJI (Aliansi Jurnalis Independen) setelah Presiden Joko Widodo memberikan remisi perubahan masa hukuman kepada Nyoman Susrama, otak dari pelaku pembunuhan berencana itu. Hukuman terhadap Susrama yang semulanya berupa penjara seumur hidup berubah menjadi 20 tahun penjara, namun pemberian remisi tersebut banyak diprotes oleh AJI, hingga pada Februari 2019 remisi tersebut resmi dicabut.

Bagi Anda yang belum tau, kasus pembunuhan berencana tersebut terjadi pada 11 Februari 2019, di kediaman Susrama yang berlokasi di Banjar Petak, Bangil. Nyoman Susrama bukanlah pelaku langsung dari kejadian tersebut, melainkan sebagai aktor intelektual yang mendalangi aksi keji tersebut. Polisi juga menetapkan 6 orang lainnya sebagai tersangka.

Setelah hilang beberapa hari, AA Narendra Prabangsa yang merupakan redaktur berita daerah Radar Bali itu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dengan kondisi tubuh rusak pada 16 Februari 2019 di Teluk Bungsil, perairan Padang Bai, Karangasem. Awalnya polisi kesulitan dalam menyelidiki kasus tersebut, namun polisi kemudian menelusuri sejumlah kemungkinan motif pembunuhan, salah satunya karena pemberitaan.

Penyelidikan polisi pun mengarah kepada Nyoman Susrama, motif pembunuhan bermula dari kekesalan Nyoman Susrama terhadap Narendra Prabangsa karena masalah pemberitaan. Prabangsa menulis berita terkait dugaan korupsi yang dilakukan Nyoman Susrama, yakni proyek pembangunan taman kanak-kanak dan sekolah dasar Internasional di Bangli sejak awal Desember 2008 hingga Januari 2019.


Tentu kekerasan terhadap jurnalis akan berakibat pada independensi jurnalis atau media yang bersangkutan, sehingga jurnalis dan media tidak lagi menjalankan peran yang sebenarnya. Adapaun akibat dari kekerasan terhadap jurnalis antara lain:

1. Informasi yang diterima oleh masyarakat tidak objektif. Jurnalis atau media yang mendapatkan kekerasan sehingga keindependensiannya terusik bisa jadi memberikan informasi yang sudah ter-framing sedemikian rupa untuk kepentingan oknum tertentu. Jika demikian publik akan mengasumsikan apa yang diberitakan jurnalis atau media yang ia percayai dan tidak mempercayai informasi yang sebenarnya.

2. Menghancurkan negara demokrasi. Kekuatan yang dimiliki pers yaitu menjangkau dan mempengaruhi publik bisa saja menjadi mala petaka bagi negara. Pers yang tidak memberitakan informasi keadaan negara yang sebenarnya kepada publik dapat mengurangi keterlibatan publik dalam mempengaruhi kebijakan.

3. Pemerintahan yang otoriter. Kekerasan terhadap pers sehingga kebebasan pers terbatas dapat mengakibatkan pemerintahan yang otoriter, kita bercermin pada masa orde baru silam, dimana kebebasan pers sangat dibatasi hingga mendapatkan perlakuan kekerasan, tanpa adanya kebebasan pers, maka tidak adanya informasi mengenai pemerintah sehingga prinsip check and balance hanyalah sebuah istilah saja.

4. Menghancurkan pers itu sendiri. Kecurangan atau berita bohong cepat atau lambat pasti dapat terungkap, kekerasan terhadap jurnalis tentu juga dapat berakibatkan pada kehancuran pers yaitu ketidakpercayaan publik terhadap pers menghilang.

Melihat kasus di atas perlunya sebuah solusi untuk mengatasi atau setidaknya meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap jurnalis, sehingga kebebasan pers dalam mencari dan memberikan informasi valid atau dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat demi kemaslahatan bersama. Adapun solusi yang bisa dilakukan adalah:

1. Aparatur negara dalam hal ini polisi untuk menjalankan perintah negara sesuaiaturan yang berlaku bukan karena perintah atasan yang sedang tidak memiliki hubungan baik dengan pers.

2. Aparat penegak hukum harus independen dan serius dalam menyelidiki kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media.

3. Masyarakat dan organisasi massa menyelesaikan kasus sengketa pemberitaan sesuai mekanisme yang diatur dalam UU.

4. Pemilik media tidak memanfaatkan ruang redaksi untuk kepentingan politik praktis. Menjaga independensi redaksi untuk kepentingan publik dan demokrasi.

5. Mengajak jurnalis untuk menjalankan tugas dengan profesional.

Referensi:
https://advokasi.aji.or.id/
https://rsf.org/en/indonesia
https://nasional.tempo.co/read/1160304/aji-kekerasan-dan-persekusi-wartawan-di-2018-tinggi


Lalu Teguh Jiwandanu
Lalu Teguh Jiwandanu [Sahabat yang paling dekat adalah tulisanmu, maka menulislah]
More About Me

Post a Comment for "URGENSI KEBEBASAN PERS UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA"